Keterasingan, Pemberontakan Albert Camus

Albert Camus di pasar loak Saint-Ouen pada tahun 1953. Koestler/Arte

Oleh: Andi Gibran

Pada bulan Oktober 1957, ia memenangkan Hadiah Nobel pada usia 43 tahun. Tindakan pertamanya bukan untuk merayakan—ia menulis sebuah surat kepada guru sekolah dasar yang telah menyelamatkannya dari kemiskinan beberapa dekade sebelumnya. “Aku tetap muridmu yang bersyukur. ” katanya

Ketika telegram tiba pada bulan Oktober 1957  Albert Camus berusia 43 tahun dan tinggal di Paris. Dia membuka kertas dan membaca kata-kata yang akan memperbaiki namanya dalam sejarah: dia telah dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Kesusasteraan.

Dia adalah salah satu yang termuda yang pernah menerimanya.

Para kritikus memanggilnya hati nurani generasinya—penulis The Stranger, The Plague, The Myth of Sisyphus—penulis yang menangkap kebodohan dan keterasingan eksistensi modern.

Tapi pemikiran pertama Camus bukan tentang ketenaran atau filosofi atau kemenangan. Setelah memikirkan ibunya, pikirannya kembali ke ruang kelas kosong di Aljazair dan ke seorang pria pendiam yang pernah melihat seorang anak miskin dan melihat masa depan yang tidak bisa dibayangkan orang lain.

Malam itu, Albert Camus duduk dan menulis surat kepada mantan guru sekolah dasarnya, Louis Germain.

Untuk memahami surat itu, Anda perlu memahami di mana Camus mulai.

Ia lahir pada tanggal 7 November 1913, di Mondovi, Aljazair Prancis, ke dalam kemiskinan yang menghancurkan.

Ayahnya Lucien terbunuh dalam Pertempuran Marne dalam Perang Dunia I ketika Albert berumur kurang dari satu tahun. Ibunya Catherine sebagian tuli, hampir buta huruf, dan bekerja sebagai wanita pembersih menggosok lantai orang lain sehingga anak-anaknya bisa makan.

Mereka tinggal di sebuah apartemen sempit di distrik kelas pekerja di Aljazair tanpa air mengalir, tidak ada listrik, tidak ada buku. Kemiskinan bukan hanya sebuah keadaan—itu adalah seluruh dunia yang diam-diam menelan masa depan anak-anak.

BACA JUGA:  Burung Bermata Merah

Bahkan didalam sekolah kelas menengah anak-anak kelas pekerja belajar lalu dibiarkan untuk bekerja apa saja untuk mendapatkan upah. Tidak ada yang mengharapkan salah satu dari mereka untuk menjadi penulis yang hebat.

Albert Camus duduk di kelas: kurus, tenang, waspada. Mudah diabaikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *